Orang yang Mendustakan “Agama”
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan orang-orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna.(QS. 107 : 1-7).
Ketika menjelaskan tafsir surat ini, Prof. Dr. H. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, Volume 15 hal. 643 sd 658, menjelaskan bahwa asbabun nuzul surat al-Maun ini sehubungan dengan kebiasaan Abu Sofyan dan Abu Jahal yang konon tiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun bukannya diberi daging oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, tetapi anak yatim itu malah dihardik dan diusir. Inilah peristiwa yang melatar belakangi turunnya surat al-Ma`un.
Kata al-Ma`un yang terdapat, dalam bahasa Arab berarti: bantuan, membantu dengan bantuan yang jelas (baik dengan alat-alat maupun dengan fasilitas), yang memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Al-Ma`un juga bisa bermakna: zakat, harta benda, alat-alat rumah tangga, air, keperluan sehari-hari, seperti periuk, piring, pacul, dan sebagainya. Dalam makna yang lebih luas al-Ma`un dimaknai membantu dengan sesuatu yang kecil dan dibutuhkan oleh orang lain
Orang-Orang Yang Mendustakan Hari Kemudian
Surat al-Ma`un ini terdiri dari 7 ayat, tetapi dalam tulisan ini hanya menjelaskan 3 ayat, yaitu ayat 1 sampai dengan 3 karena lain suatu hal.
- Orang yang Mendustakan Hari Pembalasan (kiamat)
Kata ad-din dari sisi bahasa bisa berarti: agama, kepatuhan dan pembalasan. Kata ad-din dalam ayat di atas yang sering populer diartikan dengan agama. Pada hal ad-din juga bisa diartikan pembalasan. Orang yang enggan membantu anak yatim atau fakir miskin, karena mereka menduga bantuan kepada mereka tidak akan menghasilkan apa-apa, ini sama saja pada hakekatnya mereka tidak mempercayai Hari Kemudian (Hari Pembalasan). Bukankah orang yang percaya dan menyakini, kalaulah bantuan tersebut tidak menghasilkan sesuatu di dunia, yang pasti ganjarannya akan diberikan Allah Swt di akherat nanti .
Seseorang yang berpaham sekuler dan dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang hari kemudian yang jauh di depan. Baginya, balasan segala-galanya ada di dunia, sedangkan di akherat antara percaya atau tidak. Sikap demikian tentunya pengingkaran terhadap ad-din dalam makna agama, apalagi ad-din dalam makna Hari Pembalasan.
Agama menuntut kepercayaan kepada yang ghaib, percaya kepada yang ghaib bukan hanya sekedar percaya kepada Allah Swt dan para Malaikat-Nya, tetapi juga berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji Allah Swt yang melipatgandakan anugrah-Nya kepada orang yang memberi bantuan
- Orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
Menurut Quraish Shihab terjemahan yadu`-u bukan hanya menghardik tetapi juga “mendorong dengan keras”. Kata ini tidak harus dimaknai sebatas dorongan fisik, tetapi juga mencakup segala macam penganiayaan, gangguan, dan sikap tidak bersahabat dengan mereka. Yang jelas ayat ini melarang membiarkan dan meninggalkan mereka dalam kondisi apapun dan dimanapun, termasuk mengabaikan anak yatim.
Kata al- yatim berarti kesendirian. Kematian ayah membuat mereka kesendirian, atau dalam kesendirian, sebatang kara, oleh karena itu mereka disebut anak yatim. Walaupun ayat ini membahas tentang anak yatim, namun maknanya bisa diperluas sehingga semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan adalah termasuk kelompok terpinggirkan dalam kesendirian, yang perlu mendapat perhatian. Kata yahuddhu yang bermakna menganjurkan, memberi isyarat bahwa setiap orang (muslim) walaupun tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut perannya dimanapun berada, minimal sebagai penganjur pemberi makan. Peran ini bisa dilakukan oleh siapa pun, selama dia mempunyai hati nurani dan merasakan penderitaan orang lain. Ayat ini juga menutup peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian lebih harus diberikan kepada orang yang lemah dan sangat membutuhkan.
Kata tha`am berarti makanan atau pangan. Pengertian memberi makan atau pangan dalam ayat ini adalah memberikan hak pangan orang lain yang ada di tangan orang kaya, bukan karena unsur hibah atau kasihan, tetapi memang hak pangan mereka ada di tangan orang yang berpunya. Bukankah zakat itu pada hakekatnya mengembalikan hak orang miskin minimal sebesar 2,5% yang ada di tangan orang kaya? Demikian juga memberi makanan dan pangan kepada orang miskin atau orang yang meminta-minta, pada dasarnya adalah mengembalikan hak-hak mereka yang masih ada di tangan orang-orang kaya.
Jika masih ada orang-orang yang yang belum memberikan zakatnya, berarti pada hartanya masih ada hak orang miskin dan orang-orang yang meminta-minta. Kalau harta ini tidak dikeluarkan, sama saja dia telah memakan harta orang miskin dan orang-orang yang meminta-minta.
Nilai-nilai yang terkandung dalam surat al-Maun
Surah al-Ma`un walaupun hanya terdiri dari 7 ayat, tetapi pesan yang terkandung di dalamnya pada hakekatnya sangat penting. Yaitu; pertama, setidaknya ayat ini menjelaskan secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak pernah memisahkan ibadah ritual dengan ibadah sosial, antara duniawi dan ukhrowi, atau membiarkan ibadah tersebut berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh orang yang rajin sholat tetapi tidak peduli dengan tetangganya dan penderitaan orang lain, orang ini juga belum dikatakan sempuna imannya, sebagaimana Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa siapa saja yang beriman kepada Allah Swt hendaklah dia berbuat dengan tetangga atau tamunya.
Kedua, keikhlasan. Ikhlas memang sulit didefenisikan. Beda orang, beda pula defenisi. Banyak orang mengatakan ikhlas berarti tanpa pamrih, atau mengerjakan sesuatu hanya mengharap ridho Allah Swt. Apa pun defenisi ikhlas dikembalikan kepada kita semua, karena keihklasan seseorang, yang tahu hanya orang yang bersangkutan dan Allah Swt. Ikhlas ini adalah puncaknya ibadah atau kenikmatan suatu ibadah. Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak pernah menghitung-hitung kebaikan yang dilakukannya kepada orang lain, atau mungkin dia melupakan sama sekali kalau dia telah berbuat baik kepada orang lain, baik secara nyata atau pun tidak nyata. Orang yang ihklas adalah orang yang tidak pernah mendongkol kalau tidak diberi, atau menyebut-nyebut kebaikan yang telah dilakukannya kepada orang lain dan seterusnya.
Ketiga, kesediaan mengulurkan bantuan kepada orang-orang lemah yang membutuhkan dalam bentuk apa pun dan sekecil apapun. Membantu tidak mesti menunggu kaya terlebih dahulu, atau menunggu menjadi pejabat/penguasa. Membantu dilakukan kapan pun dan dimana pun. Membantu bisa dengan tenaga, pikiran, ilmu pengetahuan, nasehat dan sebagainya.
Menurut Sayyid Quthub yang dikutip oleh Quraish Shihab bahwa “mungkin jawaban al-Qur`an tentang siapa yang mendustakan agama atau “hari kemudian” yang dikemukakan dalam surat al-Ma`un ini cukup mengagetkan kita. Jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional (iman berarti percaya), tetapi yang demikian itulah inti persoalan dan hakekatnya. Hakekat pembenaran ad-din tidak cukup dengan lidah, tetapi perlu perubahan nyata dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap manusia lain yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang peduli kepada penderitaan orang lain karena Allah Swt, dan tidak termasuk kelompok orang yang mendustakan agama dan hari kemudian. Alllahu a`lam bisshowab.
Artikel Renungan Hati Lainnya : staincurup.ac.id