Renungan Hati

Berkah Menurut Ajaran Islam

Suatu hal yang selalu kita minta kepada Allah Swt dalam do’a adalah meminta keberkahan dalam hidup; umur yang berkah, usaha yang berkah, rezeki yang berkah, dan lain sebagainya. Bahkan dalam bacaan tahiyat sholat fardhu lima waktu yang setiap hari kita lakukan, kita berdo’a untuk Nabi Muhammad Saw agar Allah Swt melimpahkan keberkahan kepada beliau sebagaimana Allah telah memberkati Nabi Ibrahim As dan keluarganya (Allahumma bârik ‘ala Muhammad wa ‘ala âli Muhmmad kamâ bârakta ‘ala Ibrâmhîm wa ‘ala âli Ibrâhîm). Lantas apa itu berkah dan bagaimana kita mendapatkan keberkahan itu?

Selain kata berkah, kadang juga digunakan kata “berkat dan barokah.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata berkah diberi arti : “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia atau doa restu dan pengaruh baik yang mendatangkan selamat serta bahagia dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat).”

Kata “berkah, berkat atau barokah” yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebetulnya berasal dari Bahasa Arab yakni “al-barakat/al-barkah” yang berasal dari akar kata “baraka”. Dari asal kata ini pula muncul istilah “al-mubârak dan tabâruk  yang artinya juga berkah atau diberkahi”. Menurut para pakar (ahli) Bahasa Arab, diantaranya Ibn Mandzur, al-Fayyumi dan al-Fairuz Zabadi, kata  “al-barakah” menurut arti bahasa adalah “berkembang, bertambah dan kebahagiaan.” MenurutImam аl-Nawawi dalam kitabnya “Syarh Shahih Muslim”, asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi. Sedangkan dalam kitab Riyadus Shalihin dijelaskan bahwa barokah adalah:  “ziyadatul khair ‘ala al ghair” (sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama).  Adapun menurut istilah (syariat), berkah didefinisikan sebagai kebaikan berlimpah yang diberikan Allah pada siapa yang dikehendaki-Nya. Keberkahan yang merupakan pemberian dari Allah tersebut dapat berupa materi dan non materi.

Dari makna bahasa dapat dikatakan bahwa “al barakah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Sesuatu dapat memiliki keberkahan jika sesuatu itu bisa mendatangkan kebahagiaan, kebaikan, dan manfaat yang terus bertambah banyak pada orang lain. Dengan kata lain, jika sesuatu yang kita miliki, kebaikan dan manfaat yang ada padanya hanya bagi dirinya sendiri, sedangkan orang lain tidak, maka sesuatu yang kita miliki itu belumlah berkah. Ringkasnya, apa saja yang kita miliki bisa menjadi berkah, atau kita bisa mendapat berkahnya kalau kita mau berbagi dengan orang lain.

Adapun bila ditinjau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’аn dan аѕ-Sunnah, maka “al-barakah” memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna “al-barakah” dalam ilmu bahasa. Di dalam al-Qur’an, kata baraka dengan berbagai kata jadiannya (al-mubarak dan al-barakah) muncul sebanyak 31 kali. Diantaranya QS. al-Qaf: 9-11; “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu Kami tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam. Dan pohon kurma yang tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 9-11).

Bila keberkahan telah menyertai hujan yang turun dari langit, maka tanah yang tadinya gersang dan kering kerontang, akan menjadi subur dan makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan dan biji-bijian yang melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah dengan hujan yang berkah, menjadi negeri gemah ripah loh jinawi atau dalam istilah lain بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Ayat di atas sesungguhnya berkaitan dengan kisah bangsa Saba’, yakni suatu negeri yang penduduknya beriman dan beramal saleh sehingga penuh dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa dahulu wanita kaum Saba’ tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka. Untuk mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas di kebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan sudah dapat memenuhi keranjangnya, tanpa harus bersusah-payah memetik atau mendatangkan pekerja yang memanennya.

Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya, yang demikian itu berkat udaranya yang bagus, cuacanya yang bersih, dan berkat kerahmatan Allah yang senantiasa meliputi mereka.

Pada ayat yang lain, istilah berkah dapat ditemukan dalam surat al-Dukhan ayat 3: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”.

 Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Al Qur’an turun pada malam yang di”berkah”i (mubarakah). Kata mubarakah dalam ayat ini, dapat dipahami dengan jelas jika dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama, misalnya ayat 1 surat al-Qadr. Dalam ayat terakhir ini, Allah menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam Qadr. Pada malam Qadr itu, Allah memberikan nilai pahala yang berlipat ganda kepada orang yang melakukan ibadah. Nilai ibadah pada malam itu, lebih baik dari nilai ibadah pada seribu bulan lainnya.

Dengan mencari munasabah antara ayat-ayat seperti ini dapat dipahami bahwa kata mubarakah dalam surat al-Dukhan ayat 2 merujuk kepada arti kebaikan Allah yang diberikan kepada orang-orang yang beribadah pada malam tersebut, yakni kebaikan yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan pahala ibadah pada malam-malam lainnya.

Istilah Al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 92 ternyata juga  disebut oleh Allah sebagai kitab suci yang di”berkah”i (kitab mubarak). Al-Qur’an disebut kitab yang di”berkah”i adalah karena ia mengandung ajaran-ajaran yang baik, yang datang dari Tuhan. Maksudnya, Kitab Suci al-Qur’an  berisi kumpulan peraturan yang berbentuk perintah dan larangan Tuhan, yang kalau perintah itu dikerjakan dan larangan dihindari, seseorang akan mendapat kebaikan (berkah). Undang-undang itu merupakan sebagian dari kebaikan yang datang dari Allah.  Tidak ada ajaran dalam al-Qur’an yang tidak baik. Manusia, karena keterbatasannya, terkadang tidak dapat memahami kebaikan yang terkandung dalam kitab suci tersebut. Seringkali kebaikan itu disadari atau ditemukan manusia belakangan hari. Sebagai contoh adalah larangan makan daging babi, yang ternyata mengandung cacing pita yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Rahasia adanya cacing pita ini baru terungkap berabad-abad setelah larangan Qur’an ini turun.

Harta (Rezeki) Yang Berkah

Dari penjelasan makna yang terkandung dalam istilah berkah di atas, maka jika dikaitkan dengan harta atau rezeki yang berkah, bukanlah dalam arti harta yang terus berkembang dan bertambah banyak dari sisi wujud riilnya atau jumlah harta yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Akan tetapi bertambahnya dan atau berlipat gandanya kebaikan dan kegunaan harta itu, walaupun jumlahnya tidak bertambah banyak atau tidak berlipat ganda. Dengan kata lain, harta yang barokah ialah harta yang menyebabkan seseorang yang mempergunakannya memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga mampu mendorong berbuat kebaikan pada sesama. Harta demikian inilah yang pada hakikatnya sangat didambakan dan dicari setiap orang. Sebab ketenangan dan ketenteraman jiwa itulah yang menjadi faktor penentu bagi kebahagiaan hidup seseorang. Besar atau kecilnya karunia, banyak atau sedikitnya rezeki, tidaklah jadi persoalan bagi yang mendapat keberkahan. Semuanya akan berpulang pada rasa syukur yang mendalam pada Sang Khalik Pemilik Alam Seisinya.

Sebaliknya, harta yang tidak berkah akan menimbulkan ketidaknyamanan pada orang yang mendapatkan dan selalu dihantui ketakutan atau was-was kalau suatu saat terbongkar cara memperoleh yang tidak dibenarkan. Harta yang tidak berkah juga menimbulkan rasa kurang (rasa tidak pernah puas) pada orang yang memakannya. Sekalipun menurut ukuran kebanyakan orang, apa yang dimilikinya sudah melebihi ukuran standar, namun mereka tetap merasa kurang dan belum cukup. Otomatis, rasa syukur pastilah tak akan pernah tersirat dari orang yang rezekinya tidak berkah.

Dalam kaitannya dengan harta yang berkah ini, Rasulullah Saw juga bersabda: “Harta benda tidak akan berkurang karena disedekahkan”. Secara lahiriyah, memang mengeluarkan sedekah berarti mengurangi harta. Akan tetapi secara tersirat, harta tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah. Artinya adalah bahwa Tuhan akan menambah lagi rezeki kepada orang yang mengeluarkan harta, yang boleh jadi tanpa diduga dan tanpa diketahui oleh orang tersebut. Orang yang merasa merugi karena mengeluarkan harta di jalan Allah, biasanya karena ia hanya mencari hubungan lahiriyah antara infak harta di jalan Allah dengan kebaikan yang diperolehnya. Dicari dengan jalan apa pun, apalagi dengan jalan ilmiah, yang menuntut adanya pemikiran rasional, obyektif, dan sistimatis, pasti tidak akan ditemukan hubungan antara dua hal di atas.

Umur Yang Berkah

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari sahabat Nabi bernama Abu Bakroh, menceritakan bahwa suatu hari  ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab ; “Yang panjang umurnya namun baik amalnya. Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?” tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi)

Pada hadis di atas terdapat sebuah petunjuk mengenai bolehnya meminta pada Allah panjang umur namun banyak amal. Berdo’a pada Allah dengan meminta panjang umur sama sekali tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dalam Lauhul Mahfuzh karena do’a itu sendiri adalah bagian dari takdir Allah yang telah dicatat. Umur di sini dikaitkan dengan ketaatan pada Allah atau baiknya amalan. Jika panjang umur diisi dengan maksiat, maka sungguh sia-sia dan tidak berfaedah sama sekali nikmat yang diberi. Jadi yang bermanfaat adalah meminta panjang umur namun dengan disertai meminta bisa terus beramal sholeh. Inilah yang disebut mendapat umur yang berkah.

Artikel Renungan Hati Lainnya : staincurup.ac.id

Back to top button
error: Content is protected !!