Islam, Pemilu dan Kekuasaan
Katakanlah : Ya Allah, Engkaulah pemilik kekuasaan sejati. Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki. Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau mulyakan dengan kekuasaan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan dengan kekuasaan itu orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. 3 : 26).
Secara prinsip, tidak ada larangan untuk berkuasa di dalam Islam. Karena memang sudah menjadi sunatullah (kecenderungan) bagi manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan untuk memilih antara menjadi kelompok yang ingin berkuasa, atau masuk kelompok yang mengambil posisi di bawah kekuasaan. Yang jadi persoalan adalah bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan, memandang kekuasaan itu sendiri, kemudian bagaimana cara mempertahankan kekuasaan tersebut. Seringkali terjadi, ketika berada di luar kekuasaan, seseorang sangat kritis dan sangat anti dengan penyalahgunaan kekuasaan, namun begitu masuk dalam pusat kekuasaan, jangankan membasmi semua bentuk penyelewengen kekuasaan, malah ikut menjadi bagian dari penyelewengan kekuasaan tersebut. Sepertinya cita-cita suci yang dibangun selama ini, kalah kuat kala berhadapan dengan realitas. Inilah yang disebut Lord Acton : power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasan cenderung korup, sementara kekuasaan yang absolut biasanya korup juga secara absolut).
Terkait cara mendapatkan kekuasaan, Islam mengajarkan bahwa kekuasaan tersebut haruslah didapatkan dengan cara-cara yang benar dan elegan. Tidak boleh dalam mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Sebutlah misalnya money politic (politik uang). Dalam Islam, money politic masuk dalam kategori suap dimana orang yang melakukan dan yang menerima sama-sama mendapat dosa dan kutukan atau laknat. Oleh karena itu hukum suap adalah haram, baik bagi orang yang menyuap maupun orang yang menerima suap, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ
Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan penerima suap (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).
Dalam hadist lain, Nabi menyebutnya dengan kalimat : “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap”. Intinya adalah bahwa setiap orang yang terlibat dalam praktek suap menyuap untuk apapun juga, sama-sama mendapat kutukan atau laknat dari Allah dan Rasul-Nya.
Untuk meraih kekuasaan, juga tidak boleh dengan memanipulasi suara ataupun mark up suara. Semua manipulasi ataupun mark up, merupakan bentuk penipuan yang jelas-jelas diharamkan Islam. Dalam salah satu sabdanya Nabi Saw mengatakan : siapa yang menipu, maka bukan termasuk ke dalam golongan kami. (HR. Muslim).
Selain itu dalam mendapatkan kekuasaan, haruslah tetap mempertimbangkan nilai-nilai persaudaraan. Dalam QS. 49 ayat 10-12, Allah Swt menegaskan bahwa secara prinsip orang beriman itu bersaudara dan umat Islam wajib menjaga persaudaraan tersebut, kemudian harus berupaya memperbaiki kualitas persaudaraan secara terus menerus (ayat 10). Untuk menjaga kualitas persaudaraan ini ada beberapa hal yang harus senantiasa dijaga oleh umat Islam; 1) Tidak boleh saling menghina, karena orang yang dihina bisa jadi lebih baik dari orang yang menghina (ayat 11). 2). Tidak boleh saling mencela (ayat 11) . 3) Tidak boleh memanggil dengan panggilan buruk (ayat 11), baik karena faktor fisik ataupun karena faktor sikap dan sifat, 4) Tidak boleh banyak prasangka. Sebab, sebagian besar prasangka cenderung salah sehingga masuk kategori dosa (ayat 12). 5) Tidak boleh saling mencari-cari kelemahan atau kekurangan (ayat 12). Sebab tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua anak cucu Adam pasti punya kesalahan (kelemahan) dan sebaik-baik orang yang punya kelemahan ini adalah orang yang mau memperbaikinya. 6) tidak boleh membicarakan aib atau kekurangan orang lain (ayat : 12). Membicarakan aib orang lain sama halnya dengan memakan bangkai saudara sendiri yang sudah membusuk (ayat 12). Karena itulah Nabi mengatakan : “beruntunglah orang yang sibuk dengan aibnya ketimbang membahas aib orang lain” (HR. Al Bazaar). Kemudian Nabi Saw juga mengatakan ““Tidaklah seorang hamba yang menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak” (HR. Muslim).
Pada lanjutan ayat di atas Allah menegaskan secara umum bahwa semua manusia secara prinsip diciptakan dengan latar belakang yang beragam, baik karena keluarga, suku, adat istiadat, dan bahkan negara atau bangsa. Namun semua keragaman ini harus menyatu untuk saling memahami atau bekerja sama (lita’arafu, ayat 13).
Ketika kekuasaan sudah ada dalam genggaman, maka kekuasaan tersebut haruslah dikelola dengan berorientasi pada dua hal; pertama, kekuasaan haruslah untuk kemaslahatan orang banyak. Karena prinsip berkuasa dalam Islam adalah kesempatan emas untuk memberi manfaat yang lebih banyak bagi orang lain. Sebab dengan kekuasaan, maka kesempatan untuk memberi manfaat kepada orang lain lebih terbuka dibanding dengan tanpa kekuasaan. Kata Nabi Saw; sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya. Justru itulah Islam mendorong umatnya untuk mau mengelola kekuasaan agar menjadi ladang dalam berbuat kebajikan atau manfaat bagi orang lain.
Dengan demikian, kekuasaan haruslah dipahami sebagai amanah yang mesti ditunaikan, bukan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi atau golongan. Segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, akan berarti pengkhianatan terhadap amanah. Pertanggungjawabannyapun tidak hanya kepada rakyat yang menitipkan amanah tersebut, tapi juga kepada Allah di akhirat kelak. Artinya, sekalipun di dunia bisa lepas dari jeratan hukum, namun di depan Allah nanti, tak satupun yang bisa lolos. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, Nabi mengingatkan, “Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Karena alasan inilah mengapa sosok Umar ibn Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah, justru menangis ketika jabatan khalifah dibebankan ke pundaknya. Ia khawatir kalau-kalau amanah ini tak sanggup ia pikul.
Kedua, kekuasaan adalah media untuk mempermudah terlaksananya ajaran Islam. Sebab, ajaran yang termaktub dalam Qur’an ataupun hadist tidaklah efektif bila tidak ditopang dengan kekuasaan. Sebutlah misalnya tentang kewajiban zakat bagi setiap muslim yang hartanya sudah mencapai haul dan nisab. Kewajiban ini tidak bisa terlaksana kalau tidak ditopang dengan kekuasaan. Sekalipun potensi zakat, sangatlah besar untuk membangun ekonomi masyarakat dan bahkan bangsa, namun tidak akan efektif bila tidak dikuatkan oleh kekuasaan. Sebagai renungan, potensi zakat di Indonesia diprediksi mencapai Rp. 217 triliun tahun 2013, namun yang berhasil dihimpun barulah Rp. 3 triliun saja. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya alat kekuasaan yang bisa memaksa muzakki untuk membayar zakat. Dengan kata lain zakat dibayarkan hanya berdasarkan kesadaran semata. Alhasil zakatpun tidak bisa dimaksimalkan dalam pengumpulannya.
Kekuasaan juga harus mampu mendorong atau memberi jaminan kebebasan bagi umat Islam dalam menjalankan ajarannya. Sebagai contoh adalah memberi kebebasan memakai jilbab bagi muslimah karena sudah jelas perintahnya dalam Qur’an untuk mengenakannya (QS. 24 : 31 dan QS. 33 : 60). Karena itu pimpinan lembaga manapun juga akan dapat pahala besar bila memfasilitasi keinginan kaum muslimah untuk menutup aurat yang disyariatkan agama ini. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan dosa besar pula bila mengabaikan kewajiban agama ini.
Karena itulah memilih pemimpin yang akan menjalankan kekuasaan haruslah sosok yang memiliki dua orientasi di atas. Atau paling tidak, suara yang dititipkan umat Islam bisa dijembatani oleh mereka sehingga bisa mempermudah umat Islam dalam menjalankan agamanya.
Ala kulli hal, memilih pemimpin bagi seorang muslim adalah wajib karena tak mungkin suatu kekuasaan tanpa adanya pemimpin. Namun dalam menentukan pilihan merupakan masalah ijtihadiyah (keyakinan pribadi) yang sangat mungkin menghasilkan perbedaan. Karena itu menentukan pilihan berdasarkan keyakinan masing-masing adalah hak, namun menyisakan ruang untuk menerima pilihan orang lain yang berbeda adalah wajib. Semoga pemilu kali ini tetap damai dan terselenggara dengan baik. Pemilu bukanlah segalanya, kekuasaan juga bukan segalanya. Karenanya, perbedaan pilihan tidak boleh sampai mengorbankan ukhuwah islamiyah (persaudaran seiman) dan menciderai ukhuwah basyariyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air). Siapapun yang terpilih nanti haruslah didukung bersama-sama. Wallahu a’lam bi al shawab.
Artikel Renungan Hati Lainnya : staincurup.ac.id