Renungan Hati

Bahagia Dengan Membahagiakan Orang Lain

STAIN UNIVERSITY – Hidup bahagia merupakan dambaan setiap manusia di muka bumi ini. Demikian sebaliknya, tidak ada satu orangpun pula yang menginginkan hidup sengsara ataupun berada dalam ketidaknyamanan. Semua upaya yang dilakukan, pada hakikatnya bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Persoalannya adalah dimanakah letak bahagia tersebut? Apakah bahagia bisa diraih dengan limpahan materi? Ataukah kebahagiaan akan didapat dengan tingginya jabatan? Atau bisakah bahagia diperoleh dengan cantik atau gantengnya pasangan masing-masing?

Kalau melihat realita di tengah masyarakat, tentu bukan kondisi di atas yang menjadikan orang bahagia. Sebab, kita lihat sebagian orang yang memiliki harta banyak, bahkan telah diberi kemewahan oleh Allah Swt dan telah dimudahkan rezekinya, namun mereka tidak merasakan kebahagiaan. Demikian juga dengan jabatan (pangkat). Banyak orang yang pangkatnya tinggi, namun belum tentu mereka bahagia dengan kondisi tersebut. Acapkali perasaan tidak tenang, kerap menghantui orang yang memiliki jabatan.

Sebenarnya Allah Swt telah menunjukkan banyak cara dan kiat untuk menggapai kebahagiaan. Dan telah terbukti bahwa kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan harta, kebahagiaan bukan diukur dengan kemewahan, kebahagiaan bukan diukur dengan ketenaran, ada perkara-perkara lain yang bisa menjadikan seseorang berbahagia.

Sehubungan dengan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan pekerjaan yang paling dicintai Allah adalah menggembirakan seorang muslim, atau menjauhkan kesusahan darinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’ktikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan…” (HR. Thabrani).

Luar biasa, amalan yang tidak kita sangka besarnya, bahkan lebih besar daripada berdiam diri di masjid selama satu bulan untuk beribadah (i’tikaf) di Masjid Nabawi. Beliau katakan amalan menemani seorang muslim untuk ia tunaikan kebutuhannya, itu adalah amalan yang besar dan amalan yang agung. Mengapa demikian? Karena menolong orang lain, menghilangkan rasa laparnya, mengatasi kesulitannya adalah amalan yang sangat dicintai oleh Allah Swt, dan amalan tersebut akan memberikan rasa kebahagian kepada para pelakunya.

Ada seorang sahabat yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat ini mengeluhkan kekerasan dan kekakuan di dalam hatinya sehinggaia tidak merasakan kebahagiaan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad).

Mungkin di antara kita ada yang bertanya, apa hubungannya kebahagiaan dengan memberi makan orang yang miskin? Apa hubungannya kebahagiaan dengan mengusap kepala anak yatim? Apa hubungan hal ini dengan kelembutan hati dan kebahagiaan?

Di dalam agama kita ada sebuah prinsip yang agung bahwa “balasan itu sesuai dengan amalan.” Jika seorang hamba berusaha menyenangkan hati orang lain, memikirkan kesulitan yang dihadapi orang lain, maka Allah juga akan menyenangkan hatinya. Oleh karenanya kita dapati sebagian orang, berletih-letih, berpayah-payah, pergi ke tempat yang jauh untuk membantu kaum muslimin, membawakan bantuan, mengumpulkan dana untuk diberikan kepada kaum muslimin. Dia tidak pernah merasakan keletihan, padahal itu pekerjaan yang sangat berat. Mungkin ia tidak mendapatkan dunia (upah) sepeser pun, akan tetapi mengapa ia bisa begitu betah melakukan itu semua? Karena ada kebahagiaan yang ia dapatkan. Allah yang memasukkan kebahagiaan dalam dirinya.

Oleh karenanya manusia yang paling berbahagia di muka bumi ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Karena beliau adalah orang yang paling memikirkan bagaimana caranya membahagiakan orang lain. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah)

Rasulullah merasa berat hatinya penderitaan para sahabatnya, penderitaan kaum muslimin secara umum, beliau menginginkan keimanan dan keselamatan bagi para sahabatnya dan umat beliau seluruhnya. Ummul mukminin, Khadijah radhiallahu ‘anha juga pernah memuji sifat suaminya ini, ketika Rasulullah Saw merasa takut bahwa dirinya terancam saat menerima wahyu pertama, “Janganlah begitu, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka membantu orang yang tidak punya, menjamu tamu, dan sentiasa mendukung kebenaran.” (HR. Al-Bukhari)

Inilah sifat dasar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan sebelum beliau menerima wahyu. Khadijah menyebutkan beberapa sifat suaminya, yang kesemuanya menunjukkan bahwa beliau selalu berusaha membuat orang lain berbahagia; menyambung silaturahim, jujur, memikul beban orang lain, membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan mendukung kebenaran.

Dalam hadis yang lainnya dikisahkan, ada seorang budak wanita yang masih kecil menarik tangan Nabi Saw untuk menunaikan suatu keperluannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan budak tersebut membawanya ke tempat yang ia inginkan. Mengapa ini semua beliau lakukan? Karena beliau sangat ingin memasukkan kebahagiaan di hati orang lain. Karena Rasulullah Saw adalah orang yang paling ingin membahagiakan orang lain, maka beliau adalah orang yang paling berbahagia.

Setelah kita mencermati beberapa hadis tentang keutamaan membahagiakan orang lain, membahagiakan orang lain adalah amalan yang paling dicintai Allah, dan kita juga mendengarkan contoh praktek langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagi kita adalah mengamalkannya. Mencari kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain. Jika kita memiliki kelebihan rezeki, hendaknya kita sumbangkan sebagian harta tersebut kepada orang-orang miskin atau orang-orang yang membutuhkan. Masukkan kebahagiaan di hati mereka, maka pasti Allah akan memasukkan kebahagiaan di hati kita juga. Yakinlah akan hal ini, “Balasan itu sesuai dengan amalan.” Tidak perlu sampai orang lain meminta, ketika ada keluarga, saudara, tentangga kita merasa sulit, maka kita bantu mereka dengan harta, tenaga, dan pikiran kita.

Yang merasa sulit membahagiakan saudaranya dengan harta, maka ia bisa bahagiakan saudaranya dengan bantuan tenaga atau pemikiran. Sehingga saudara kita mendapatkan ide dan solusi dari masalah yang ia hadapi. Bagaimana mungkin Allah akan membiarkan orang-orang yang sibuk berpikir agar orang lain berbahagia, merasakan kesedihan, kegalauan di dalam hatinya. Yakinlah bahwasanya Allah akan membahagiakan orang yang ingin membahagiakan orang lain, dan lakukanlah amalan yang mulia ini dengan keikhlasan mengharap pahala dan ridha dari Allah Swt.

Mudah-mudahan Allah Swt menjadikan kita orang-orang yang senantiasa membantu saudara-saudara kita, memasukkan kebahagiaan di hati-hati mereka, sehingga Allah memberikan kebahagiaan kepada kita di dunia maupun di akhirat kelak, Allahumma amin. (Penulis adalah Seorang Penceramah yang berdomisili di Pasar Ujung, Kepahiang).

Back to top button
error: Content is protected !!