Renungan Hati

Prasangka dan Introspeksi

Di sebuah loket bus, berdirilah seorang wanita yang antri untuk membeli tiket. Setelah itu dia pergi ke warung terdekat untuk membeli biskuit. Sembari menunggu bus berangkat, ia duduk di sebuah bangku panjang yang kebetulan di sana ada seorang laki-laki yang sedang menunggu bus juga. Wanita itupun membaca buku yang sejak tadi dipegangnya untuk mengurangi rasa bosan ketika menunggu. Ketika asyik membaca, dia melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya mengambil biskuit yang terletak di pembatas kursi yang ada diantara mereka berdua. Wanita itupun marah, pikirnya dimanalah letak rasa malu orang ini, laki-laki yang tidak sopan karena telah mengambil biskuit yang ada di sebelah tangan kirinya. Setiap kali wanita itu mengambil biskuit, laki-laki itupun melakukan hal yang sama dan hal itu terjadi berulang-ulang sehingga membuat wanita itu semakin kesal. Setelah beberapa saat, wanita itu mendapati biskuit yang ada di sampingnya tinggal satu, lalu tiba-tiba laki-laki itu dengan senyumannya kembali mengambil biskuit tersebut, membelahnya menjadi 2 bagian sama rata untuk mereka berdua. Kemarahan dan kejengkelan wanita itupun menjadi-jadi hingga akhirnya ia pergi meninggalkan bangku tersebut, sambil bergumam di dalam hati, “dasar laki-laki tidak tahu malu, berani-beraninya mengambil hak orang tanpa meminta izin”.

Selang beberapa menit kemudian, bus yang ditumpanngi wanita itu mulai berjalan meninggalkan loket. Ia pun melanjutkan membaca buku. Ketika ia berniat untuk mengambil kacamata di dalam tasnya, dia mendapati bahwa biskuit yang dibelinya setelah membeli tiket tadi masih ada, bahkan masih ada dan terbungkus rapi. “ Ya Allah, ternyata biskuit tadi. . . ,”gumamnya dalam hati. Betapa menyesalnya ia yang telah berprasangka buruk kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya tadi, apalagi ketika ia marah laki-laki itu mengambil biskuit, padahal biskuit itu adalah miliknya sendiri. Seharusnya dia yang marah kepadaku, karena aku yang telah mengambil haknya tanpa izin.” Wanita itu sangat malu pada dirinya sendiri dan menyesal, terlebih dia tak bisa menemui laki-laki tersebut untuk minta maaf karena mereka menaiki bus dengan jurusan yang berbeda. Ia hanya bisa terdiam dan menyesali perbuatannya tersebut.

Berdasarkan kejadian ini, dapatlah kita mengambil pelajaran bahwasanya prasangka buruk itu sungguh berbahaya. Setiap yang namanya buruk sangka pasti akan menimbulkan suasana yang tidak kondusif dimanapun dan kapanpun juga. Sebaliknya lebih baik banyak-banyak melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri agar tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Berfikirlah sebelum bertindak, dan janganlah suudzon kepada sesuatu yang kita tidak tahu kebenaran tentangnya. Seringkali ketika kita berprasangka buruk justru kita sendirilah sebenarnya yang bersalah.

Tampaknya inilah hikmahnya mengapa Allah tegaskan dalam Al Qur’an bahwa orang beriman tidak boleh berburuk sangka secara berlebihan: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu banyak-banyak buruk sangka. Sebab, sebagian besar dari buruk sangka itu adalah dosa. Jangan pula kamu mencari-cari kesalahan orang lain atau menggunjingkan sebagian lainnya. Apakah kamu suka memakan bangkai saudaramu yang sudah membusuk? Pastilah kamu membencinya”…(QS. Al-Hujurat : 12).

Ayat ini tegas melarang umat Islam untuk berburuk sangka secara berlebihan. Memang menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana kalau buruk sangka yang tidak berlebihan? Sepertinya ayat ini mentolerir dalam batas sewajarnya atau kalau memang punya alasan yang kuat. Sebagai contoh adalah saat orang yang tidak kita kenal memasuki rumah tengah malam dengan diam-diam, maka sebagai tuan rumah wajib hukumnya untuk curiga (buruk sangka) kalau orang tersebut punya maksud yang tidak baik. Di luar dari itu, tentu sudah tidak dibenarkan lagi. Wallahu ‘alam bi alshawab

Artikel Renungan Hati Lainnya : staincurup.ac.id

Back to top button
error: Content is protected !!