Renungan Hati

Waktu Menurut Al-Qur’an

Salah satu yang memiliki arti penting dalam kehidupan manusia adalah waktu. Orang Barat menyebut “waktu adalah uang” (the time is money). Sedangkan orang Arab menyebut “al-waktu ka al-shaiyf “ (waktu seperti pedang). Demikian pentingnya waktu bagi manusia, sehingga al-Qur’an memberi perhatian besar tentang persoalan waktu. Hal ini terlihat dari adanya beberapa istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna waktu. Allah Swt berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti “wa  al-Lail”  (demi malam), “wa al-Nahar” (demi siang), “wa al—Shubhi”, “wa al-Fajr,” dan lain-lain.

Istilah dan Ayat al-Qur’an Tentang Waktu

Apakah yang dimaksud dengan waktu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paling tidak terdapat empat arti (makna) dari kata  “waktu”:  (1)  seluruh  rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan  datang;  (2)  saat  tertentu untuk  menyelesaikan  sesuatu;  (3)  kesempatan,  tempo,  atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.

Dalam al-Qur’an ditemukan ada empat istilah yang maknanya dapat berarti waktu, yaitu:  al-Ajalal-Dahr , al-Waqt dan al-‘Ashr. Dalam kitabnya “al-Mu’jam al-Mufahras li al Fazh al-Qur’an al-Karim”, Muhammad Fua’d Abd Baqi’ menyebut bahwa kata atau istilah al-ajal yang berarti waktu, dalam al-Qur’an diulang sebanyak 54 kali. Misalnya, QS. al-Baqarah/2: 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertransaksi tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” Ayat lain, QS. Yunus/10: 49: “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah”. tiap-tiap umat mempunyai batas waktu tertentu (ajal). apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) men-dahulukan(nya).”

Dua ayat di atas memberi kesan bahwa  istilah al-ajal dipakai untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, atau menunjukkan bahwa setiap sesuatu pasti ada masa berakhirnya seperti berakhirnya usia manusia, batas berakhirnya perjanjian, hutang piutang dan lain sebagainya. Tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt sendiri.

Kata atau istilah al-dahr yang berarti waktu, dalam al-Qur’an diulang sebanyak 2 kali, yaitu: QS. al-Jasiyah/45:24, QS. al-Insan/76: 1:Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”

Ayat di atas, menunjukkan bahwa kata al-dahr digunakan untuk waktu saat berkepanjangan yang dilalui oleh alam dalam kehidupan  dunia  ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini. Maksudnya bahwa segala sesuatu dahulunya pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (al-dahr).

Adapun kata atau istilah al-waqtu yang diterjemahkan menjadi waktu, dalam al-Qur’an disebut 10 kali. Diantaranya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS  al-Nisa’/4: 103)

Kata al-waqt (waktu) yang bentuk jamaknya “mawâqît”dalam al-Qur’an menunjukkan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus adanya keharusan untuk  menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa. Ayat di atas memberi kesan bahwa waktu-waktu shalat yang telah ditentukan yang harus dikerjakan.

Adapun kata al-‘Ashr yang berarti waktu, terdapat dapam surat al-‘Ashr/103: 1, yaitu: “Wal ‘Ashri  “ artinya “demi masa/waktu”. Kata al-’ashr,  dalam bahasa Arab biasanya  diartikan   “waktu   menjelang terbenammya  matahari”,  tetapi  juga  dapat diartikan sebagai “masa” secara mutlak. Makna terakhir ini  diambil berdasarkan asumsi bahwa ‘ashr  merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata ‘ashr juga ber-makna “perasan”, seakan-akan  masa  harus digunakan oleh manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa. Jadi kata atau istilah al-’ashr  yang berarti waktu memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran. Demikianlah arti dan  kesan-kesan  yang  diperoleh  dari  akar serta  penggunaan  kata  yang  berarti “waktu” dalam berbagai makna dalam al-Qur’an.

Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal  mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh ‘ashr (waktu)-nya dengan berbagai kerja atau amal dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Kerja atau amal dalam bahasa al-Qur’an, seringkali dikemukakan dalam bentuk  indefinitif   (nakirah). Bentuk ini oleh pakar-pakar bahasa dipahami sebagai member makna  keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Al-Qur’an menyatakan: “Aku (Allah) tidak menyia-nyiakan kerja salah seorang diantara kamu baik lelaki maupun perempuan.” (QS. Ali  Imran/3: 195)

Adapun akibat yang akan terjadi kalau kita menyia-nyiakan waktu, salah satu jawaban yang paling gamblang adalah ayat pertama dan kedua surat Al-’Ashr. Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah “wal ‘ashr” (demi masa), untuk membantah anggapan  sebagian  orang yang mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai masa sial atau masa mujur, karena  yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang  berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad ‘Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.

 Allah bersumpah dengan ‘ashr’: “Demi masa (waktu); Sesungguhnya seluruh manusia dalam keadaan merugi (khusr)Kecuali ia beriman dan beramal saleh”. Kerugian  yang dimaksud tidak jarang baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan  disadari  pada  waktu ‘ashr  kehidupan  menjelang hayat terbenam. Bukankah  ‘ashr adalah waktu ketika matahari akan terbenam? Itu  agaknya  yang menjadi  sebab sehingga Allah Swt mengaitkan kerugian manusia dengan kata ‘ashr untuk menunjuk “waktu secara umum”, sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian selalu datang kemudian.

Kata khusr  mempunyai banyak arti,  antara  lain  rugi,  sesat, celaka,  lemah,  dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun. Jika misalnya dikatakan, “Baju di lemari atau uang di saku”, tentunya yang dimaksudkan adalah bahwa baju berada  di  dalam lemari dan uang berada di dalam saku. Yang terserap dalam benak  ketika  itu  adalah  bahwa  baju  telah diliputi  lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di  dalam  saku sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.

Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, “manusia berada didalam kerugian”. Kerugian adalah wadah dan manusia berada didalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi  pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, “Demi masa”, dan mencari kaitannya  dengan  ayat kedua, “Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian”.

Masa  adalah  modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan  berlalu begitu. Ketika  waktu  berlalu begitu  saja,  jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra pernah berkata, Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.”

Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila  tidak  diisi, yang  bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal  yang  negatif,  manusia  tetap  diliputi  oleh kerugian.  Di  sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi  Saw. yang  memperingatkan  manusia  agar  mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw : “Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang, yaitu kesehatan dan kesempatan.” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas Ra).

Artikel Renungan Hati Lainnya : staincurup.ac.id

Back to top button
error: Content is protected !!